KUDUS – jursidnusantara.com Sejumlah elemen masyarakat sipil dan mahasiswa di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah menggelar aksi damai mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Massa menuntut revisi Undang-undang Pilkada dibatalkan. Ada tiga tuntutan yang mereka layangkan.
Sesampainya di gedung DPRD, massa aksi langsung menggelar serangkaian orasi. Mereka juga menempelkan sejumlah spanduk tuntutan dan kecaman atas sikap-sikap elit politik yang membiarkan upaya pembegalan konstitusi melalui revisi UU Pilkada.
Di beberapa poster dan spanduk, tertulis jelas kecaman terhadap Presiden Jokowi seperti ‘Tolak Nepotisme Raja Jawa’, ‘Lawan Oligarki’, ‘Nepotisme Merajai’, ‘Jokowi King off Lips Service’.
Salah satu koordinator aksi Abdul Azizul Ghofar, mengungkapkan tuntutan yang dilayangkan yakni, DPR RI harus memberikan kejelasan atas RUU Pilkada. Pihaknya meminta agar RUU Pilkada tidak dibahas apalagi disahkan oleh DPR di kemudian hari.
Mereka mendesak pemerintah dan DPR RI untuk tidak melawan putusan MK terkait aturan Pilkada. Massa aksi juga meminta agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) sesuai dengan putusan MK.
’’Kalau ini hanya direspon secara palsu, maka kami akan membawa massa yang lebih besar daripada saat ini. Mahasiswa, buruh, dan seluruh elemen akan berdemo di sini lagi,’’ katanya pada Jumat, 23 Agustus 2024 siang.
Ghofar menegaskan, bahwa sudah seharusnya DPR RI mematuhi putusan yang dikeluarkan MK. Sebab putusan MK bersifat final dan mengikat. DPR RI tidak semestinya membangkang dengan membuat RUU yang bertentangan dengan putusan itu.
Ia menyatakan, apabila DPR meneruskan pembahasan itu artinya tidak mewakili rakyat. Justeru mereka telah mencoreng marwah demokrasi yang dibangun oleh para pendahulu.
Menurutnya Putusan MK adalah angin segar setelah beberapa waktu lalu MK memberikan keputusan yang kurang bijak. Ia mengatakan, putusan ini seharusnya menjadi penyelamat demokrasi.
’’Kami tidak akan membiarkan adanya pembegalan konstitusi, kami akan memperjuangkan hak rakyat untuk berdemokrasi. Jangan sampai lengah,’’ tegasnya.
“Aksi ini juga menyuarakan solidaritas bagi massa aksi yang tertangkap sewaktu demonstrasi di Pusat. Ia menuntut agar kawan-kawan aksi yang tertangkap bisa dibebaskan,” pungkasnya.
Sementara itu, M. Azka Shofwil dalam orasinya menyerukan perlawanan tehadap oligarki yang saat ini mau dilakukan oleh Presiden Jokowi.
“Mau sampai kapan demokrasi berubah jadi oligarki. Mari kita sadarkan seluruh bangsa kita, bahwa hal yang terjadi pada saat ini bukanlah hal yang benar,” katanya.
Menurutnya langkah Badan Legislasi DPR RI yang berusaha melawan amar putusan MK melalui Revisi UU Pilkada mencederai konstitusi negara. Jika dibiarkan, menurutnya, hal tersebut bakal membuat negara berantakan.
“Upaya merevisi UU Pilkada jelas merupakan kepentingan segelintir elit untuk melanggengkan nepotisme dan oligarki dan merusak demokrasi,” tegasnya.
Usai melakukan orasi-orasi, mahasiswa melakukan aksi teaterikal berupa membungkus seseorang dengan lakban yang melambangkan adanya upaya memberangus demokrasi.
Mahasiswa juga membakar ban bekas, dan bahkan menurunkan bendera merah putih yang ada di depan gedung DPRD menjadi setengah tiang.
Beberapa saat kemudian, sejumlah anggota Fraksi PDI Perjuangan Ngateman, Muhammad Antono, Peter M Faruq, Supriyana dan Pranoto menemui para demonstran.
Ngateman menyampaikan PDIP akan mendukung gerakan mahasiswa untuk mengawal putusan MK. Apa yang disuarakan mahasiswa adalah yang juga diperjuangkan oleh PDIP.
“PDIP sepakat untuk mendukung apa yang disuarakan mahasiswa untuk mengawal putusan MK,” terangnya.
Usai mendapatkan penjelasan dari para anggota dewan, massa aksi pun membubarkan diri setelah sebelumnya meminta para anggota fraksi PDIP menandatangani surat pernyataan yang disediakan oleh mahasiswa.
(Elm@n)