Pati jursidnusantara.com . Sidang dugaan tindak pidana penipuan dengan terdakwa Anifah warga Mojo Pitu Pati Kidul Kecamatan Pati melawan pelapor Wiwit kembali digelar dengan agenda menghadirkan saksi ahli permintaan pihak terdakwa, namun kesaksian ahli dianggap tidak netral dan tidak konsisten sehingga pihak Wiwit berharap Hakim mengabaikannya. (23/09)

Sidang dalam perkara nomor : 113/Pid.B/2025/PN.pti., Perkara Tindak Pidana Penipuan dan/atau Penggelapan yang menimpa korban Wiwit. Sidang Kesepuluh ini dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pati Ketua Majelis: Budi Aryono, S.H., M.H.Anggota Dian Herminasari, S.H., M.H.Anggota Wira Indra Bangsa, S.H., M.H. Serta Jaksa Penuntut Umum Danang Seftrianto SH.MH .
Sebagai saksi ahli Mujiono Hafidh Prasetyo, S.H., M.H., LL.M dosen Undip Semarang menyebutkan bahwa mens trea atau niat jahat yang masuk kategori penipuan itu dilakukan sejak awal, sedangkan Anifah disebut saksi ahli di awal ada niat baik jadi walaupun ada kebohongan di tengah-tengah perjalanan, kontrak perjanjian tidak dianggap tindak pidana. Namun ketika Hakim menanyakan dengan contoh serupa, jika ada orang yang meminjam uang dengan alasan untuk biaya rumah sakit anaknya dan akan dibayar beberapa bulan kemudian, di tengah jalannya kontrak perjanjian ternyata diketahui si anak tidak sakit, oleh karenanya dia membuat dokumen-dokumen palsu (misalnya kuitansi rumah sakit palsu atau sejenisnya) hal tersebut apakah termasuk penipuan?. Meski dengan berat hati, akhirnya saksi ahli mengatakan hal tersebut masuk delik penipuan.
Kuasa hukum Wiwit DR. Teguh Hartono, S.H.,M.H kepada media mengatakan bahwa saksi ahli ini tidak Netral dan tidak konsisten, selalu memberikan jawaban bahwa ahli menganggap tindakan Anifah bukan penipuan namun wanprestasi. Namun jika disudutkan dengan pertanyaan di kasus yang sama mengatakan hal serupa adalah penipuan jadi dianggap juga tidak konsisten.
Sebagaimana diketahui dalam fakta-fakta di muka persidangan sebelumnya, terungkap bagaimana cara Terdakwa Anifah melakukan penipuan dan atau penggelapan. Bermula pada tanggal 27 Maret 2023 Terdakwa Anifah meyakinkan Saksi korban di rumahnya bahwa Terdakwa memiliki usaha ternak ayam, jual beli ayam, pakan ayam dan kerjasama dg RPA serta menjanjikan bagi hasil antara 5–7%. Dengan tipu muslihat Terdakwa Anifah, Saksi Korban selama kurun waktu bulan Maret 2023-Maret 2024 mengalami kerugian sebesar 3,1 Milyar rupiah. Dalam persidangan didapati fakta bahwa uang bagi hasil yg pernah diberikan kepada Korban ternyata uang dari Saksi Korban sendiri. Uang Saksi Korban tidak dipergunakan utk usaha jual beli ayam, ternyata dipinjamkan kepada Saksi Puji Supriyani alias Puput *dg dikenakan bunga* sebesar 10% tanpa sepengetahuan Korban. Dan didapati fakta ternyata perusahaan Terdakwa Anifah fiktif. PT PUAS sudah tidak beroperasi sejak Tahun 2021. Demikian juga PT. Mustika Jaya Abadi Kudus tidak terdaftar di Ditjen AHU Kemenkumham.
Atas keterangan Ahli Pidana dalam persidangan kali ini, kuasa hukum Korban, Dr. Teguh Hartono, S.H., M.H. berpendapat bahwa apa yang disampaikan oleh Ahli Pidana diutamakan Perdata dahulu daripada Pidana bertentangan dengan Pasal 29 AB, “Sebagaimana kita dengarkan bersama Ahli Hukum Pidana dalam sidang kali ini yaitu saksi ahli yang menyatakan perkara perdata lebih didahulukan daripada perkara pidana berdasarkan Pasal 80 KUHP. Ini tentunya bertentangan dengan Pasal 29 Algemeine Bepalingen Van Wetgeving Voor Indonesia. Dalam Pasal 29 AB itu mengatur tuntutan pidana harus didahulukan daripada perdata. Kalo Pasal 80 KUHP yang disampaikan oleh Ahli tadi setau saya terkait daluwarsa penuntutan pidana” Ungka Teguh Hartono.

Kuasa Hukum Korban berharap Majelis Hakim mengabaikan keterangan atau pendapat Ahli yang dihadirkan kali ini karena tidak konsisten dalam memberikan pendapat. “Satu sisi Ahli sependapat bahwa apabila perikatan terdapat tipu muslihat maka itu termasuk penipuan, tapi di sisi lain Ahli mengatakan wanprestasi. Namun ketika diminta pendapat kenapa jadi wanprestasi, Beliau menyatakan tidak bisa menjawab karena bukan Ahli Hukum Perdata tapi Ahli Hukum Pidana. Selanjutnya Ahli juga menerangkan bahwa jaminan yang bukan miliknya tidak bisa kategorikan sebagai itikad baik. Kemudian Ahli juga berpendapat jika ada pemberian ganti kerugian setelah proses berlangsung, maka tidak dapat menghapus pidananya”. tegas DR. Teguh Hartono /red.